MAKALAH
RUMAH ADAT JAWA
Diajukan untuk memenuhi salah satu
tugas Pelajaran Bahasa Jawa
Disusun oleh :
NAMA : ANDI PANGESTU
KELAS : XI IPS 2
SMA
NEGERI 1 JATIBARANG
Jl. Raya Karanglo Tegalwulung, Kec.
Jatibarang, Kab. Brebes
TAHUN
2016
KATA
PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT. Atas segala limpahan
rahmat, taufik, hidayahnya, serta Inayah-Nya sehingga penyusun dapat
menyelesaikan tugas yang diberikan. Sholawat serta salam semoga tetap
tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW. Yang telah membawa kita
dari zaman jahiliyah menuju zaman terang benderang, yakni addinul Islam. Semoga
kita mendapat syafa’atnya min yaumil kiyamah. Amin.
Penyusun menyadari bahwa yang disajikan dalam makalah ini
masih jauh dari sempurna. Untuk itu penyusun mengharapkan kepada semua pihak
atas kritik dan saran dari kesempurnaan makalah ini.
Akhirnya dengan mengucapkan syukur Alhamdulillah atas
terselesainya tugas makalah ini dan semoga bermanfaat bagi kita semua, Amin.
Penyusun,
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................ 1
DAFTAR ISI...................................................................................................... 2
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang................................................................................................ 3
Rumusan Masalah........................................................................................... 4
Tujuan.............................................................................................................. 4
BAB II PEMBAHASAN
A. Rumah adat jawa........................................................................................ 5
B. Rumah adat joglo dan filosofisnya............................................................. 6
BAB III PENUTUP
Kesimpulan......................................................................................................... 12
Saran................................................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang

Di indonesia
sangatlah banyak rumah-rumah yang didalamnya mempunyai artian tersendiri
didalam daerahnya masing-masing, dengan kata lain rumah adat yang merupakan
bangunan rumah yang mencirikan atau mempunyai kekhasan bangunan suatu daerah di
indonesia dan melambangkan kebudayaan dan ciri khas masyarakat setempat.
Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki keragaman dan kekayaan budaya,
beraneka ragam bahasa dan suku dari sabang sampai dengan merauke, sehingga
indonesia memiliki banyak koleksi rumah-rumah adat yang indah dengan
hiasan-hiasan ukiran pada jaman dahulu.
Hingga saat ini
masih banyak suku dan daerah-daerah di indonesia yang masih mempertahankan
rumah adat sebagai usaha untuk memelihara nilai-nilai kebudayaan yang kian
tergeser oleh budaya mordernisasi. Biasanya rumah adat tertentu dijadikan
sebagai aula (tempat pertemuan), musium, atau dibiarkan begitu saja sebagai
objek wisata. Karena bentuk dan aksitektur rumah-rumah adat daerah di
indonesia, yang memiliki bentuk dan arsitektur yang berbeda-beda sesuai dengan
nuansa adat setempat, misalnya rumah adat jawa yang sampai saat ini masih ada
dan berdiri layaknya rumah adat jawa yang dikenal dengan nama rumah adat joglo,
yang memiliki atap mengerucut, seperti pada umumnya sebuah hiasan ukiran-ukiran
indah tradisional yang tampak paling indah, biasa dimiliki oleh para keluarga
kerajaan atau ketua adat setempat dengan mengunakan kayu-kayu pilihan dan
pengerjaannya dilakuhkan secara tradisional melibatkan tenaga ahli dibidangnya.
Dan banyak rumah-rumah adat yang saat ini masih berdiri kokoh dan sengaja
dipertahankan dan dilestarikan sebagai simbol akan budaya indonesia.
Rumusan Masalah
a. Apa itu rumah
adat jawa ?
b. Rumah adat
joglo dan filosofisnya ?
Tujuan Penulisan
a. Untuk mengetahui sejarah rumah
adat jawa
b. Untuk mengetahui rumah
adat joglo dan filosofisnya
BAB II
PEMBAHASAN
A. Rumah adat jawa
Budihardjo
(1994:57) rumah adalah aktualisasi diri yang diejawantahkan dalam bentuk kreativitas dan pemberian makna bagi kehidupan penghuninya. Selain itu
rumah adalah cerminan diri, yang disebut Pedro Arrupe sebagai ”Status
Conferring Function”, kesuksesan seseorang tercermin dari rumah dan lingkungan
tempat huniannya. Dan Rumah Adat jawa
merupakan lambang status dan menyimpan rahasia tentang kehidupan penghuninya
dan rumah adat jawa pula sangat berkaitan dengan dunia batin yang tidak lepas
dari kehidupan masyaarakatnya.[1]
Bangunan rumah
adat jawa memiliki ciri khas khusus, digunakan untuk tempat hunian oleh suatu
suku bangsa tertentu, dan merupakan salah satu representasi kebudayaan yang
paling tinggi dalam sebuah komunitas suku/masyarakat. Keberadaan rumah adat jawa diIndonesia sangat beragam dan
mempunyai arti yang penting dalam perspektif sejarah, warisan, dan kemajuan
masyarakat dalam sebuah peradaban.
Rumah-rumah adat jawa di Indonesia memiliki bentuk dan
arsitektur masing-masing daerah sesuai dengan budaya adat lokal. Rumah adat jawa pada umumnya dihiasi ukiran-ukiran indah, pada jaman dulu. rumah adat jawa yang tampak paling indah biasa
dimiliki para keluarga kerajaan atau ketua adat setempat menggunakan kayu-kayu
pilihan dan pengerjaannya dilakukan secara tradisional melibatkan tenaga ahli
dibidangnya, Seiring perkembangan zaman, maka terjadi pula perubahan kebutuhan
bangunan manusia di zaman yang baru ini. Rumah adat jawa atau rumah tradisional pun banyak
yang mengalami perubahan dan tidak sedikit rumah adat atau tradisional yang
hampir punah. Kebutuhan manusia yang berubah menyebabkan terjadinya perubahan
pada kebutuhan bangunan yang kurang sesuai dengan yang ada sebelumnya. Tidak
jarang rumah tradisional atau rumah adat jawa yang ada mengalami perubahan dan tidak memperhatikan nilai
filosofis yang seharusnya diperhatikan.
B. Rumah adat joglo dan filosofisnya
Rumah joglo merupakan bangunan
arsitektur tradisional jawa. Dan rumah adat joglo juga dapat diartikan sebagai
jenis rumah adat suku jawa yang terlihat sederhana dan digunakan sebagai
lambang atau penanda status sosial serta nilai kebudayaan, yang didalamnya
mempunyai keunikan dan ciri khas tersendiri serta fungsi yang berbeda.[2]
rumah joglo mempunyai kerangka bangunan utama yang terdiri dari soko guru
berupa empat tiang utama penyangga struktur bangunan serta tumpang sari yang
berupa susunan balok yang disangga soko guru. Susunan ruangan pada Joglo
umumnya dibagi menjadi tiga bagian yaitu ruangan pertemuan yang disebut
pendhapa, ruang tengah atau ruang yang dipakai untuk mengadakan pertunjukan
wayang kulit disebut pringgitan, dan ruang belakang yang disebut dalem atau
omah jero sebagai ruang keluarga. Dalam ruang ini terdapat tiga buah senthong (kamar) yaitu
senthong kiri, tengah, dan kanan.
Terjadi penerapan prinsip hirarki dalam pola penataan
ruangnya. Setiap ruangan memiliki perbedaan nilai, ruang bagian depan bersifat
umum (publik) dan bagian belakang bersifat khusus (pribadi/privat). Uniknya,
setiap ruangan dari bagian teras, pendopo sampai bagian belakang (pawon dan
pekiwan) tidak hanya memiliki fungsi tetapi juga sarat dengan unsur filosofi
hidup etnis Jawa. Unsur religi/kepercayaan terhadap dewa diwujudkan dengan
ruang pemujaan terhadap Dewi Sri (Dewi kesuburan dan kebahagiaan rumah tangga)
sesuai dengan mata pencaharian masyarakat Jawa (petani-agraris). Ruang tersebut
disebut krobongan, yaitu kamar yang selalu kosong, namun lengkap dengan
ranjang, kasur, bantal, dan guling dan bisa juga digunakan untuk malam pertama
bagi pengantin baru.
Jadi dalam pemetaan ruang didalam rumah adat Joglo,
meliputi tiga pemetaan di dalam ruang utama yaitu :
1. Pendopo

Pendopo
letaknya di depan, dan tidak mempunyai dinding atau terbuka, hal ini berkaitan
dengan filosofi orang Jawa yang selalu bersikap ramah, terbuka dan tidak
memilih dalam hal menerima tamu. Pada umumnya pendopo tidak di beri meja
ataupun kursi, hanya diberi tikar apabila ada tamu yang datang, sehingga antara
tamu dan yang punya rumah mempunyai kesetaraan dan juga dalam hal pembicaraan
atau ngobrol terasa akrab rukun (rukun agawe santosa).
2. Pringgitan,

Pringgitan
memiliki makna konseptual yaitu tempat untuk memperlihatkan diri sebagai
simbolisasi dari pemilik rumah bahwa dirinya hanya merupakan bayang-bayang atau
wayang dari Dewi Sri (dewi padi) yang merupakan sumber segala kehidupan,
kesuburan, dan kebahagiaan. Menurut Rahmanu Widayat, pringgitan adalah
ruang antara pendhapa dan dalem sebagai tempat untuk pertunjukan wayang
(ringgit), yaitu pertunjukan yang berhubungan dengan upacara ruwatan untuk anak
sukerta (anak yang menjadi mangsa Bathara Kala, dewa raksasa yang maha hebat).
3. Dhalem.

Dalem atau ruang utama dari rumah joglo ini merupakan ruang
pribadi pemilik rumah. Dalam ruang utama dalem ini ada beberapa bagian yaitu
ruang keluarga dan beberapa kamar atau yang disebut senthong. Pada masa dulu,
kamar atau senthong hanya dibuat tiga kamar saja, dan peruntukkan kamar inipun
otomatis hanya menjadi tiga yaitu kamar pertama untuk tidur atau istirahat
laki-laki kamar kedua kosong namun tetap diisi tempat tidur atau amben lengkap
dengan perlengkapan tidur, dan yang ketiga diperuntukkan tempat tidur atau
istirahat kaum perempuan. Kamar yang kedua atau yang tengah biasa disebut
dengan krobongan yaitu tempat untuk menyimpan pusaka dan tempat pemujaan
terhadap Dewi Sri. Senthong tengah atau krobongan merupakan tempat paling
suci/privat bagi penghuninya. Di dalam dalem atau krobongan disimpan harta
pusaka yang bermakna gaib serta padi hasil panen pertama, DewiSri juga dianggap
sebagai pemilik dan nyonya rumah yang sebenarnya. Di dalam krobongan terdapat
ranjang, kasur, bantal, dan guling, adalah kamar malam pertama bagi para
pengantin baru, hal ini dimaknai sebagai peristiwa kosmis penyatuan Dewa
Kamajaya dengan Dewi Kama Ratih yakni dewa-dewi cinta asmara perkawinanDi dalam
rumah tradisi Jawa bangsawan Yogyakarta, senthong tengah atau krobongan berisi bermacam-macam benda-benda lambang
(perlengkapan) yang mempunyai kesatuan arti yang sakral (suci).Macam-macam
benda lambang itu berbeda dengan benda-benda lambang petani. Namun keduanya
mempunyai arti lambang kesuburan, kebahagiaan rumah tangga yang perwujudannya
adalah Dewi Sri
4.
Krobongan

Kepercayaan
masyarakat Jawa terhadap Dewi Sri tidak lepas dari kehidupan mereka yang
agraris. Dewi Sri merupakan dewi kesuburan yang berperan penting dalam
menentukan kesejahteraan masyarakat agraris (para petani). Agar dalam berusaha
lancar maka perlu menyediakan tempat yang khusus di rumahnya untuk menghormati
Sang Tani.
Y.B.
Mangunwijaya (1992 : 108) menjelaskan yang dimaksud dengan Sang Tani adalah
bukan manusia si petani pemilik rumah, melainkan para dewata, atau tegasnya
Dewi Sri.
Di dalam dalem
atau krobongan disimpan harta pusaka yang bermakna gaib serta padi
hasil panen pertama, Dewi Sri juga dianggap sebagai pemilik dan nyonya rumah
yang sebenarnya.
Di dalam krobongan
terdapat ranjang, kasur, bantal, dan guling, adalah kamar malam pertama bagi
para pengantin baru, hal ini dimaknai sebagai peristiwa kosmis penyatuan Dewa
Kamajaya dengan Dewi Kama Ratih yakni dewa-dewi cinta asmara
perkawinan(Mangunwijaya, 1992: 108).
Di dalam
rumah tradisional Jawa bangsawan Yogyakarta, senthong tengah atau krobongan
berisi bermacam-macam benda-benda lambang (perlengkapan) yang mempunyai
kesatuan arti yang sakral (suci).
Macam-macam
benda lambang itu berbeda dengan benda-benda lambang petani. Namun keduanya
mempunyai arti lambang kesuburan, kebahagiaan rumah tangga yang perwujudan-nya
adalah Dewi Sri (Wibowo dkk., 1987 : 63).
Bangsal
Witana dengan Krobongan Bale Manguneng
5. Gandhok dan Pawon

Ruangan di
bagian belakang dinamakan gandhok yang memanjang di sebelah kiri dan
kanan pringgitan dan dalem. Juga terdapat pawon yang
berfungsi sebagai dapur dan pekiwan sebagai wc/toilet. Ruangan-ruangan
tersebut terpisah dari ruangan-ruangan utama, apalagi dari ruangan yang
bersifat sakral/suci bagi penghuninya.
Pola
organisasi ruang dalam rumah tradisional Jawa dibuat berdasarkan tingkatan atau
nilai masing-masing ruang yang ter-urut mulai dari area publik menuju area private
atau sakral. Pembagian ruang simetris dan menganut pola closed ended
plan yaitu simetris keseimbangan yang berhenti dalam suatu ruang, yaitu senthong
tengah (Indrani, 2005: 11).
Dewi
Sri dalam Krobongan
Rumah Tradisional Jawa
Dewi Sri
sangat akrab dengan masyarakat agraris Jawa. Bagi mereka, Dewi Sri merupakan icon
sekaligus tokoh penting yang sangat berperan dalam menentukan hasil panen-nya
nanti. Maka tidak aneh apabila di rumah pribadi mereka, terdapat tempat khusus
yang digunakan sebagai tempat pemujaan terhadap Dewi Sri. Selain itu, Dewi Sri
juga dikenal sebagai lambang kesuburan dan kesejahteraan rumah tangga.
Dewi Sri
dalam buku Sejarah Wayang Purwa (Hardjowirogo, 1982 : 72) dijelaskan Dewi Sri
adalah putri Prabu Srimahapunggung dari negara Medangkamulan. Dewi Sri
bersaudara laki-laki yang bernama Raden Sadana.
Penggambaran
Dewi Sri dalam Wayang Purwa
Dewi Sri
meninggalkan Medangkamulan untuk menyusul saudaranya yang menolak untuk
dikawinkan. Ia mendapat berbagai cobaan dalam perjalanannya. Seorang raksasa
terus menggodanya.
Setelah
itu ia dikutuk menjadi ular sawah oleh ayahnya namun kemudian ia berhasil
kembali menjadi Dewi Sri seperti semula. Selama perjalanan, Dewi Sri banyak
mendapat pengalaman yang berhubungan dengan pertanian.
Menurut
Lombard (1996: 82), walaupun mitos Dewi Sri berasal dari India namun di
beberapa pulau di Nusantara yang tidak tersentuh pengaruh India pun mengenal
sosok Dewi Sri sebagai Dewi Kesuburan.
Ceritanya
pun hampir sama, yaitu Dewi Sri yang dikorbankan lalu dari seluruh bagian
tubuhnya tumbuh berbagai tanaman budidaya yang utama seperti padi. Mitos
tersebut sangat kental dengan pengaruh Hindu.
Hal ini
bisa saja terjadi akibat adanya asimilasi antara Kepercayaan Asli dan Hindu.
Hasilnya muncul seorang tokoh simbolik kaum petani Jawa, yang melindungi
tanaman padinya terhadap gangguan-gangguan hama tanaman padi, yang dianggap
berasal dari para lelembut atau jin mrekayangan (Widayat, 2004:
10).
Berbagai
cerita padi muncul di Jawa sebelum datangnya pengaruh Hindu dan ada kemungkinan
cerita tersebut setelah datangnya paham Hindu diubah dan disesuaikan dengan
ajaran Hindu.
Penghormatan
terhadap Dewi Sri juga dilakukan dalam upacara-upacara adat. Salah satunya
adalah upacara bersih desa. Dalam upacara tersebut digelar pertunjukan wayang
kulit dengan lakon berjudul Srimantun yang menggambarkan reinkarnasi
Dewi Sri sebagai Dewi Kemakmuran dan anugerah dari dewata terhadap negara agar
menjadi negara yang makmur dan sejahtera serta tidak kekurangan apapun.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Rumah Adat jawa merupakan lambang
status dan menyimpan rahasia tentang kehidupan penghuninya dan rumah adat jawa
pula sangat berkaitan dengan dunia batin yang tidak lepas dari kehidupan
masyaarakatnya. Layaknya rumah adat jawa joglo yang mempunyai filosofis tertentu
didalam rumah adat tersebut serta jenis rumah adat suku jawa yang terlihat
sederhana dan digunakan sebagai lambang atau penanda status sosial serta nilai
kebudayaan, yang didalamnya mempunyai keunikan dan ciri khas tersendiri serta
fungsi yang berbeda.
Saran
Penulis
memberikan saran sebagai berikut: Untuk para pembaca : marilah kita menciptakan
inovasi-inovasi baru yang berguna bagi diri sendiri dan orang lain, dan juga
kembangkanlah makalah ini agar dapat menjadi kesempurnaan
DAFTAR PUSTAKA
· S.Pandanaran,
singgih. 2012. Misteri bumi jawa, yogyakarta; In Azna Books.
· http://kebudayaan1.blogspot.co.id/2013/10/rumah-adat-jawa-tengah-joglo.html.minggu/16-10-2016/20.46.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar